Oneiroi: Kanéla!

"Itu kan cuma bunga tidur. Jangan diambil pusing!"

Mella menyendok siomay terakhirnya, menyisakan bumbu kacang bercampur kecap di piring plastik warna oranye itu.

"Tapi rasanya benar-benar nyata, Mel! Bahkan aku bisa merasakan tangannya yang sedikit kasar, aroma kayu manis di tubuhnya, semuanya nyata!" sanggahku.

Kantin sekolah sudah sepi ditinggal para siswa yang bertolak ke rumah masing-masing. Mendung menggantung di langit, menyisakan abu-abu yang sendu.

"Meskipun terasa nyata tapi tetap saja itu cuma mimpi di siang bolong! Makanya jangan tidur waktu kelas Pak Adnan." 

Aku menandaskan es jeruk ku yang tinggal separuh dan mengikuti langkah Mella, meninggalkan bangku kantin.

"Sudahlah, anggap saja kamu baru bertemu idola boyband Korea yang kamu gila-gilai itu." ujar Mella seraya menepuk pundakku.

"Dia sama sekali tidak terlihat seperti laki-laki Korea, Mella." jawabku dengan nada ketus.

Sudah ku jelaskan dengan rinci bagaimana penampilan laki-laki yang ku temui tadi di alam mimpi.

"Ah, sudah-sudah! Ayo cepat ke halte, nanti kita ketinggalan bus lagi."

Mella mempercepat langkah sambil menenteng tas berisi kamus besar dan tempat minumnya, sedangkan aku mengekor di belakang.

*****

"Aku sudah jelaskan ke Mella, tapi dia tidak mau percaya. Kamu benar-benar ada. Iya, kan?" tanyaku kepada sosok laki-laki bertubuh kurus dan jangkung yang berada di sampingku.

Ah, hanya melihat siluet nya yang tertimpa lembayung senja saja sudah membuat jantungku berdegup tak karuan.

"Aku ada karena kamu percaya. Selama kamu tidak meragukan kehadiranku, maka aku nyata." jawabnya parau.

Danau di depan kami beriak airnya, seekor burung baru saja menangkap ikan kecil dengan paruhnya yang panjang. Membuat air di sekitarnya menanggalkan tenang.

"Jangan terlalu dipikirkan, Jingga. Ayo ikut aku saja!" ujarnya seraya menarik lenganku, mengajak tubuhku untuk berdiri sejajar dengannya.

"Mau kemana?" tanyaku.

"Sudah ikut saja, jangan banyak bertanya." jawabnya.

Lalu kini wajahnya tertimpa cahaya lampu di sekitar danau. Aku bisa melihat jelas manik matanya yang berwarna hijau gelap, ada satu tahi lalat di atas kanan bibirnya. Rahangnya terpeta dengan jelas; terlihat kokoh dan presisi, seakan setiap inci dari wajahnya sudah di rencanakan dengan seksama dan sempurna. Rambutnya berwarna cokelat gelap dan terlihat berantakan. Hanya satu yang ku rasakan begitu menatap matanya: nyaman.

Ia menggamit lenganku erat dan mengajakku pergi, setengah berlari, menembus jalanan lengang di penghujung senja. Lalu semua menghitam dan aku terjaga.

*****

Aku lupa kapan pertama kali sosok itu hadir di semua mimpiku. Orang bilang, kadang manusia bisa melanjutkan mimpi yang mereka mau, tapi yang ini berbeda.

Ia datang begitu saja. 

Seringnya, kami berpergian bersama. Entah menembus hutan hujan, duduk berdua di taman, tiba-tiba memancing di tengah laut, atau menikmati cokelat hangat di sebuah pelataran rumah yang tidak ku kenal.

Ia selalu berada di sampingku, bersisian denganku ketika bicara, duduk ataupun berjalan. Tak pernah ia melepas genggaman, seakan-akan kedua tangan kami telah terikat satu sama lain. 

Ketika menyentuhnya, aku seakan benar-benar sedang menyentuh seseorang di dunia nyata; bagaimana tekstur telapak tangannya yang sedikit kasar, rambut halus di lengannya yang seperti ada di lenganku, rambutnya yang lurus dan juga halus, tekstur flanel dari kemeja yang ia pakai. Bahkan aku bisa mencium wangi tubuhnya: kayu manis!

Iya, ia selalu beraroma kayu manis. Mengingatkanku akan cinnamon roll yang biasa dibuat Nenek di saat aku mengunjunginya. Rasanya sangat menenangkan.

Seakan sedang pulang ke rumah.

*****

Debur ombak yang menabrak batu karang terdengar riuh di belakang kami. Semilir angin yang lembap menyapu wajahku dengan keras.

Kami sudah berada di sebuah bukit dengan pantai di bawahnya. Matahari bersinar sangat terik tanpa terhalang oleh awan. Di depanku, sudah ada kelapa muda dengan payung kecil warna merah muda sebagai penghias. 

Ia duduk bersila di sampingku sambil menyeruput es kelapa muda miliknya. Kali ini aku dapat melihat rambutnya yang berwarna lebih cerah dari biasanya, tertimpa cahaya matahari.

"Jingga, setelah ini kamu mau kemana?" tanyanya tiba-tiba.

"Eh, maksud kamu?" tanyaku balik, bingung.

"Aku sudah membawamu ke tepian danau, duduk di taman, memancing di lautan dan juga menembus hutan hujan. Sekarang kita di bukit, setelah ini kamu ingin kemana?" tanyanya sambil menyipitkan kedua matanya.

"Aku tidak tahu. Memang harus ada tujuannya?" jawabku.

"Yah, tidak juga. Mungkin saja kamu ingin ke suatu tempat yang mungkin belum bisa kita datangi." jelasnya.

Kini aku dapat melihat pipinya yang bersemu kemerahan, mungkin karena panas. Aku juga baru menyadari bahwa ia memiliki tanda lahir seperti bentuk segitiga di siku kirinya. 

"Kenapa melamun, Jingga?" tanya laki-laki di sampingku ini sambil menyenggol lenganku.

"Aku baru ingat kalau kita belum berkenalan. Kamu sudah tahu namaku sejak pertama kita bertemu, tapi aku tidak ingat pernah melihatmu dan mengenal namamu." jawabku.

Dahinya berkerut, membuat alis tebalnya hampir tertaut.

"Kenapa begitu merisaukan namaku?" tanyanya dengan nada gamang.

"Aku merasa tidak adil saja. Kau bisa dengan mudah mengenalku tapi aku selalu bertanya-tanya tentangmu. Membuatku jadi ragu." jawabku.

Ia mengginggit bawah bibirnya yang berwarna sedikit kecokelatan, wajahnya terlihat kalut.

"Kamu tidak perlu tahu siapa aku, itu tidak penting." jawabnya singkat sambil memalingkan muka.

"Tapi aku mau tahu siapa kamu. Darimana asalmu dan juga bagaimana caramu mengenaliku. Apa kamu tidak merasa aneh? Kamu selalu ada di setiap mimpiku akhir-akhir ini, membawaku pergi ke banyak tempat dan lalu kamu menghilang. Nanti kalau aku terjaga, aku masih bisa mencium aroma kayu manis dari tubuhmu, atau bagaimana tekstur flanel dari kemeja milikmu," mendadak pandanganku mengabur, sosok di depanku seakan berubah jadi warna kelabu. Apa karena ada air mata di pelupuk mataku?

"aku seakan jadi setengah sinting karena merasa kamu benar-benar ada di sekitarku. Ketika aku sedang membaca buku di perpustakaan sekolah, saat lari untuk ambil nilai olahraga, atau saat memasak puding jeruk di dapur rumah. Kamu nyata. Iya, kan?" tanyaku dengan setengah berteriak.

Aku benci bagaimana Mella selalu protes ketika aku bercerita tentang mimpiku, atau bagaimana Ibu menganggapku punya teman khayalan dan juga Kak Sena yang menertawai sosok laki-laki di depanku ini yang kini benar-benar mengabur.

"Jingga, aku mau pulang dulu. Nanti kita pasti bertemu, tapi entah kapan. Tolong tunggu aku dan jangan bersedih ketika kita tidak bertemu." ujarnya sebelum sosoknya menghilang dari hadapanku.

Aku membuka mata.

Yang kulihat bukan lagi langit warna biru, melainkan langit-langit kamarku. Bukan lagi hangat angin tepi pantai, tapi dingin dari pendingin ruangan milikku. 

"Ryan..." 

Entah darimana nama itu berasal, namun yang kini ada di kepalaku hanya nama itu.

Ryan.

*****

Sudah satu bulan sejak menghilangnya Ryan –begitu aku menamainya– dari mimpiku. Tidak ada lagi sosoknya dan perjalanan aneh seperti biasa kami lakukan. Mimpiku dipenuhi dengan sosokku yang terus saja berjalan, entah dimana dan hendak kemana. Kemudian merasa sangat lelah begitu terjaga.

Sekarang hari Sabtu dan sekolahku libur. Aku hanya ingin berbaring sehari penuh di tempat tidur sambil menyantap es krim rasa cokelat kesukaanku.

"Jingga! Tolong bukakan pintunya!" teriak Ibu dari lantai bawah setelah terdengar suara ketukan dari pintu rumah.

"Kak Sena saja! Aku sibuk, Ibu!" jawabku setengah berseru.

"Jingga!" panggil Ibu lebih keras lagi, tandanya aku harus segera beranjak dari tempatku dan membukakan pintu.

Ku kuncir sekenanya rambut ikal sebahuku dan memakai jaket warna biru yang menggantung di belakang pintu untuk menyembunyikan piyama tidurku.

"Permisi!" seru seseorang di balik pintu.

"Sebentar!" jawabku sambil memutar kunci.

Laki-laki di depanku mundur satu langkah begitu aku membuka pintu. Aroma kayu manis langsung menguar begitu saja.

"Maaf, saya Ryan dari rumah sebelah. Kami baru saja pindah semalam. Ini ada bingkisan dari Mama saya." kata sosok bernama Ryan itu sambil menyodorkan sebuah tas dengan nama toko kue di depannya.

"Te-terima kasih, Ryan." jawabku.

Kami termangu. Meneliti satu sama lain.

Tidak, tentu aku tidak salah mengingat. Bukankah ia yang selama ini selalu mampir di mimpiku? Ryan yang itu?

"Jingga.." panggilnya terbata.

"I-iya.." jawabku dalam lirih.

"Aku tidak mengerti bagaimana bisa seperti ini, tapi-" kata-kata Ryan terhenti. Ia seakan sedang memastikan bahwa kami tidak sedang terjebak di alam mimpi.

"Aku senang melihatmu. Kau nyata dan aku pun juga." lanjutnya.

Aku mengangguk tanda setuju. 

"Kapan-kapan ikut aku bertemu Mella, agar aku bisa buktikan kau nyata dan aku tidak gila." ujarku lalu kami tertawa.

Setelah itu aku lupa dengan agenda bermalas-malasan milikku. Kami menghabiskan separuh Sabtu dengan mengingat-ingat kembali tempat mana saja yang pernah kami kunjungi di alam mimpi dan juga menerka-nerka bagaimana Tuhan membuat skenario kami untuk bertemu.

Ryan nyata dan aku tidak mengada-ada. 

Oh, dan tentu saja ia beraroma sama: kayu manis!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sećanja

Samācāra