Sećanja

Teruntuk kau yang selalu beraroma kayu manis,

Surat terbuka ini ku persembahkan untukmu.

Surabaya, 23 September 2017
01.55

Aku selalu mencintaimu, sedangkan kau tidak.

Aku tak pernah mempermasalahkan itu. Karena ku tahu, tak semua cinta harus menerima balasan.

Aku tetap ingat bagaimana pertama kita bertemu.

Bagaimana kita sangat canggung dengan kehadiran satu sama lain, sedikit tawa untuk mengusir keheningan diantara kita.

Lalu pertemuan-pertemuan yang selanjutnya, yang mungkin tak tersimpan dengan baik di benakmu.

Aku selalu jatuh cinta padamu.

Pada senyum itu.

Pada laku mu yang manis dan juga tegas.

Pada setiap detail dari dirimu.

Aku suka.

Namun mungkin kau tidak merasakan hal yang sama denganku.

Berulang kali aku mematahkan hatiku sendiri, karena berusaha untuk membuatmu percaya dan melihat bahwa aku ada.

Berusaha untuk meyakinkan mu bahwa perasaanku bukan rasa yang biasa hinggap dalam hatimu.

Berulang kali aku mematahkan hatiku sendiri, karena percaya bahwa kau juga punya rasa yang sama, namun nyatanya kau tidak.

Lalu, aku mengulang semua memori indah tentangmu dalam benakku. Sebagai penghibur hati yang luka.

Bagaimana kau tertawa pada hal-hal yang menurut ku menyebalkan. Bagaimana kau menyebut namaku. Bagaimana kita menghabiskan menit-menit sebelum kita berpisah.

Berulang kali aku mematahkan hatiku sendiri, karena menyadari kau banyak berubah sejak terakhir kali kita bertemu.

Dan aku benci itu.

Aku benci bagaimana sikapmu menjadi dingin. Atau bagaimana kau jarang tertawa akhir-akhir ini.

Lalu seperti biasa, aku mengingat bagaimana begitu hangatnya sapaan mu di pagi hari. Bagaimana wajah kesal mu karena lapar namun harus segera bertolak untuk pulang. Bagaimana kau menangkap senja dari ponsel pintar mu.

Kemudian aku menyadari sesuatu.

Bukan, aku akhirnya menerima kenyataan yang selama ini telah ku pungkiri.

Perasaan ku tak lagi sama untukmu.

Tak lagi hangat dan mendebarkan. Tak lagi membuatku gelisah setiap malam.

Aku selalu merasa bahagia ketika mengingatmu yang dulu. Bagaimana kita bertemu, menertawakan sesuatu, atau berdebat akan hal yang tidak perlu.

Aku merasa rindu ku sudah cukup puas bertemu denganmu, meski hanya melalui ingatan-ingatan lalu.

Mungkin semua memang telah berubah.

Aku tak lagi mencintaimu sepenuh dulu.

Aku mencintai kenangan tentangmu.

Bukan lagi pada hangat senyummu ketika kita bertatap muka, atau bagaimana kau menertawakan hal-hal kecil di sekeliling mu.

Bukan lagi pada sosok bidangmu yang selalu berjalan terburu-buru, atau pada hitamnya rambut ikalmu.

Aku mencintaimu dalam sosok dari masa lalu, yang masih ku simpan rapat-rapat dalam ingatku.

Aku tak lagi mencintai mu.

Aku mencintai kenangan akan tentangmu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Samācāra

Oneiroi: Kanéla!